JAKARTA,- | Rasionews | Hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi V DPR RI pada 26 Mei 2025 kembali mengungkap persoalan serius terkait penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di jalan tol Indonesia. Sorotan tajam datang dari kalangan ahli dan praktisi hukum transportasi, salah satunya Advokat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), Eddy Suzendi, S.H.
Dalam keterangannya, Eddy menilai bahwa SPM yang semestinya menjadi jaminan dasar keselamatan pengguna jalan tol, selama ini hanya menjadi dokumen formalitas belaka. “SPM itu bukan sekadar daftar teknis, melainkan nyawa orang. Kita membayar untuk keselamatan, bukan hanya aspal,” ujar Eddy kepada Tribun, Senin (27/5/2025).
Pernyataan tersebut dilontarkan menanggapi kasus kecelakaan maut yang terjadi di Tol Cikopo–Palimanan (Cipali), Kilometer 176, Majalengka, Jawa Barat, pada Rabu malam, 24 Juli 2024, pukul 21.41 WIB. Kendaraan yang melaju dari arah Jakarta menuju Jawa Tengah menabrak tiang Rambu Petunjuk Jalan (RPPJ) yang berdiri di area pekerjaan jalan dan roboh akibat benturan.
Menurut Eddy, insiden itu adalah cermin dari kegagalan sistemik, bukan semata-mata kelalaian pengemudi. “Di lokasi itu ada pekerjaan jalan, tapi tidak ada antisipasi terhadap hazard. Tiang RPPJ yang berkarat dan tidak dilengkapi pengaman dibiarkan berdiri di tepi bahu jalan. Jalan menyempit tanpa penyesuaian desain keselamatan. Ini bentuk gross negligence,” tegasnya.
Lebih lanjut, Eddy menjelaskan bahwa prinsip “Forgiving Road” seharusnya menjadi pedoman utama dalam pengelolaan jalan tol. “Kalau pengemudi mengantuk atau kehilangan konsentrasi, infrastruktur semestinya melindungi, bukan malah mematikan. Ada teknologi seperti impact attenuator, safe barrier, atau minimal guardrail yang harus terpasang saat ada perbaikan jalan. Ini bukan teknologi luar angkasa, tapi standar keselamatan,” tuturnya.
- Advertisement -
Sebagai kuasa hukum keluarga korban, Eddy kini menggugat PT LMS selaku Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), PT Astra Tbk sebagai pemegang saham mayoritas, dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) sebagai regulator. Gugatan ini tidak hanya menuntut ganti rugi materiil, tapi juga kerugian imateriil akibat kehilangan nyawa dan rasa aman masyarakat.
“Ini momentum penting. Negara harus hadir. Masyarakat jangan terus dicekoki narasi ‘pengemudi ngantuk’. Bagaimana bisa mengantuk menjadi alasan abadi, padahal sistem jalan kita berbahaya?” katanya.
Eddy juga menyoroti lemahnya pengawasan oleh BPJT yang seharusnya menjamin pelaksanaan SPM sesuai Permen PUPR No. 16 Tahun 2014, sebagaimana diperkuat dalam Pasal 71A UU No. 2 Tahun 2022 tentang Jalan dan Pasal 31–33 PP No. 23 Tahun 2024. Dalam aturan itu ditegaskan bahwa BUJT wajib melaksanakan SPM dan BPJT bertanggung jawab mengawasi secara aktif.
“Kalau SPM dilanggar dan tidak ada tindakan, berarti BPJT pun bisa digugat. Kita tidak bicara soal keluhan, tapi soal nyawa. Negara punya tanggung jawab konstitusional untuk melindungi,” tegas Eddy.
- Advertisement -
RDPU Komisi V DPR RI sendiri merekomendasikan evaluasi menyeluruh terhadap pengawasan jalan tol, terutama terkait kesiapan jalur saat ada pekerjaan, kondisi rambu, penerangan, serta sistem drainase. Banyak kecelakaan terjadi bukan karena kecepatan, tapi karena infrastruktur yang gagal memberi ruang untuk selamat.
Menutup pernyataannya, Eddy menyampaikan pesan penting kepada publik, “Gugatan ini bukan hanya perjuangan klien saya. Ini suara moral agar setiap orang bisa selamat sampai rumah. Kalau jalan tol tidak aman, untuk apa kita bayar?”
Catatan Redaksi:
Artikel ini merupakan hasil wawancara eksklusif dengan Advokat Eddy Suzendi, S.H. dari Kantor Hukum Eddy Suzendi & Partner. Tulisan ini juga menjadi bagian dari kampanye edukatif “Advokat LLAJ untuk Sistem Transportasi yang Selamat dan Berkeadilan.”
(Rohena)