Jakarta,- | Rasionews | Jembatan timbang (JT) sejatinya merupakan instrumen vital dalam tata kelola lalu lintas dan angkutan jalan. Keberadaannya bukan sekadar fasilitas teknis, tetapi manifestasi dari amanah Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), khususnya dalam pengendalian over dimension and over loading (ODOL).
Ketika sebuah instrumen negara justru dikelola dengan sistem “buka tutup” tanpa kepastian, publik berhak mempertanyakan apakah ini sekadar masalah teknis, atau justru cermin ketidak mampuan institusi dalam mengelola mandat undang undang?
Dasar Hukum
UU 22/2009 tentang Pengawasan Muatan Barang
Undang Undang telah mengatur secara jelas kewajiban dan mekanisme pengawasan muatan angkutan barang.
Pasal 169 ayat (1) Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan, dan kelas jalan.
Ayat (2) Untuk mengawasi kepatuhan tersebut, dilakukan pengawasan muatan angkutan barang.
- Advertisement -
Ayat (3) Pengawasan dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan.
Ayat (4) Alat penimbangan terdiri dari (a) alat tetap (jembatan timbang) atau (b) alat portabel.
Lebih lanjut, Pasal 170 menegaskan bahwa lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan ditetapkan oleh Pemerintah, sedangkan petugas wajib mendata jenis barang, berat angkutan, serta asal dan tujuan.
- Advertisement -
Sementara Pasal 171 memberi ruang penggunaan alat portabel oleh petugas pemeriksa kendaraan bermotor bersama Kepolisian, termasuk untuk penyidikan tindak pidana pelanggaran muatan.
Pertanyaan mendasar pun muncul:
Apakah Menteri Perhubungan memiliki kewenangan untuk membubarkan amanah undang undang dengan menutup jembatan timbang, padahal keberadaannya diatur secara eksplisit dalam UU?
Apakah sebuah BUMN seperti Jasa Marga bisa mengambil alih kewenangan yang jelas jelas bukan tupoksinya, hanya karena dianggap “lebih siap”?
Jika benar terjadi, ini bukan hanya pelanggaran teknis, melainkan indikasi pelemahan sistem hukum dan penyimpangan konstitusional.
1. Jembatan Timbang sebagai Cermin Negara
Dalam perspektif kebijakan publik, jembatan timbang adalah safeguard untuk mencegah kendaraan kelebihan muatan yang berpotensi merusak jalan, jembatan, bahkan mengancam keselamatan jiwa.
Namun, praktik menunjukkan ketidak teraturan pengoperasian, sehingga publik menilai Kementerian Perhubungan gagal menjalankan amanah regulasi. Fenomena “buka-tutup” JT bukan solusi, melainkan indikasi lemahnya manajemen negara.
2. Ketidak mampuan dan Moralitas SDM
Ketidak mampuan mengelola JT tidak semata soal infrastruktur, tetapi juga moralitas SDM. JT kerap dipersepsikan sebagai “ladang pungli” ketimbang instrumen hukum.
Jika stigma ini terus dibiarkan, maka wibawa regulasi runtuh. Yang dibutuhkan adalah perbaikan sistemik integritas aparatur, sistem transparan, dan penegakan hukum konsisten.
3. Peran Pemerintah Daerah yang Dikesampingkan
Mengapa pengelolaan JT tidak diintegrasikan dengan pemerintah daerah? Padahal, UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah mengatur pembagian kewenangan pusat daerah.
Alih alih memperkuat kolaborasi, Kemenhub justru memilih memonopoli. Akibatnya, yang muncul bukan efektivitas, melainkan cacat desain tata kelola.
4. ODOL Pelanggaran Administratif sekaligus Pidana
ODOL bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga tindak pidana (Pasal 171 UU LLAJ).
Sayangnya, penegakan hukum begitu lemah sehingga ODOL seolah “dilegalkan”. Ditambah lagi, standar laik jalan masih merujuk regulasi 1993 yang sudah ketinggalan zaman.
5. Krisis Keahlian Ahli yang Bungkam, Pimpinan Dipermalukan
Kita tidak habis pikir, bagaimana mungkin para ahli teknis di bawah Menteri Perhubungan yang notabene memiliki kapasitas akademis, pengalaman praktis, dan legitimasi birokrasi, seolah tidak memberi masukan yang tajam dan visioner kepada atasannya. Padahal, fungsi utama dari struktur organisasi teknokratis dalam kementerian adalah menyediakan analisis berbasis data, regulasi, dan best practice internasional agar kebijakan yang diambil bukan sekadar reaktif, tetapi berlandaskan rasionalitas ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan.
Fenomena yang terjadi belakangan ini menunjukkan adanya jurang antara retorika kebijakan dengan substansi teknis. Ketika Menteri Perhubungan menyatakan jembatan timbang dibubarkan karena menjadi sarang pungli padahal dibawah kendali Kementerian, pertanyaanya apakah ada kajian teknis komprehensif mengenai dampak kebijakan tersebut terhadap fungsi kontrol over dimension and over loading (ODOL)? Jika tidak ada, maka bukan hanya keabsahan kebijakan yang diragukan, melainkan juga kredibilitas para ahli di lingkaran birokrasi teknis.
Contoh paling gamblang adalah ketika Dirjen Perhubungan Darat dipermalukan di ruang publik, baik dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPR RI maupun dalam diskusi terbuka dengan para sopir. Tidak jarang, pertanyaan pertanyaan sederhana terkait teknis transportasi jalan, masalah Ojol ,kapan mulai terjadinya Odol maupun strategi penanganan ODOL tidak mampu dijawab dengan tuntas. Kondisi ini memunculkan kesan kuat bahwa otoritas teknis kehilangan arah, miskin basis ilmiah, dan cenderung defensif.
Hal semacam ini tentu saja berbahaya. Sebab, bila pejabat setingkat Dirjen Hubdat saja bisa dipermalukan, maka publik akan mempertanyakan integritas kelembagaan Kemenhub itu sendiri. Lebih jauh lagi, jika pola ini berulang, maka kepercayaan masyarakat, pelaku usaha, bahkan mitra internasional terhadap sistem transportasi Indonesia akan semakin tergerus.
Yang lebih mengkhawatirkan, dalam situasi demikian, jika Menteri Perhubungan tetap melanjutkan wacana untuk mengambil alih pengujian berkala kendaraan bermotor dari kewenangan daerah. Pertanyaannya bagaimana mungkin sebuah fungsi yang bersifat teknis, detail, dan menuntut infrastruktur serta SDM mumpuni, hendak ditarik ke pusat, sementara instrumen sederhana seperti jembatan timbang saja diakui tidak mampu dikelola dengan bersih dan profesional? Bukankah ini sebuah ironi kebijakan yang justru memperlihatkan kontradiksi internal dalam manajemen transportasi nasional?
Peran Ahli Transportasi Hilang atau Dibungkam?
Di sinilah letak keprihatinan kita.
Para ahli transportasi di bawah Kementerian Perhubungan seolah kehilangan daya kritis. Apakah masukan mereka benar benar tidak pernah diberikan, atau justru tidak pernah didengar? Jika benar tidak pernah diberikan, maka kita berhadapan dengan masalah kapasitas sumber daya manusia. Tetapi jika ternyata sudah diberikan, namun diabaikan oleh pimpinan politik, maka itu menjadi masalah pembungkaman birokrasi teknis yang sangat berbahaya bagi pembangunan transportasi berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, kondisi ini bisa membuat regulator dan operator transportasi tidak terkoreksi secara obyektif. Padahal, di negara negara maju, posisi para ahli transportasi adalah penopang utama setiap kebijakan. Mereka melakukan kajian mendalam, mensimulasikan risiko, dan menyiapkan peta jalan (roadmap) yang berbasis R&D. Di Indonesia, fenomena ini justru nyaris tidak tampak. Akibatnya, kebijakan lebih banyak berbentuk reaksi atas tekanan publik, bukan hasil dari desain ilmiah yang matang.
Risiko Sistemik Jika Pola Ini Berlanjut
Apabila pola “absennya suara ahli” ini dibiarkan, maka risiko yang akan timbul antara lain
1. Kebijakan transportasi makin kontradiktif misalnya antara wacana pengendalian ODOL dengan pelonggaran aturan bagi operator.
2. Pejabat teknis terus dipermalukan di forum publik karena miskin jawaban berbasis sains dan data.
3. Kepercayaan publik merosot drastis terhadap kemampuan negara dalam mengelola keselamatan transportasi.
4. Internasional trust menurun, khususnya dalam konteks kerja sama logistik, perdagangan, dan investasi transportasi.
5. Supremasi hukum menjadi rapuh, karena aparat negara terlihat tidak konsisten menegakkan regulasi yang ada.
Dengan demikian, ke depan Kementerian Perhubungan harus berani membuka ruang yang lebih besar bagi suara para ahli transportasi, agar kebijakan tidak hanya sekadar jargon, melainkan benar-benar menyentuh substansi. Sebab, tidak ada yang lebih memalukan daripada seorang pejabat tinggi negara yang terdiam atau gagap menjawab pertanyaan teknis di hadapan publik sementara di belakangnya berdiri ratusan orang yang menyandang titel “ahli transportasi”.
6. Closing Statement Keselamatan sebagai Hukum Tertinggi
Krisis manajemen transportasi darat bukan semata soal fasilitas, melainkan soal komitmen hukum, integritas SDM, dan keberanian teknokrat untuk bersuara.
Apabila Kemenhub hanya sibuk menyusun aturan tanpa melaksanakan, maka regulasi hanyalah arsip mati. Apabila ahli teknis hanya diam, maka pimpinan akan terus dipermalukan di depan publik.
Prinsip dasar yang harus kembali ditegakkan adalah yaitu
Salus populi suprema lex esto Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Eddy Suzendi, S.H.
Advokat LLAJ
Tagline: Keselamatan & Keadilan
08122497769 eddypedro4@gmail.com
www.esplawfirm.my.id
(Rohena)



